Perdagangan karbon atau carbon trading merupakan mekanisme pasar di mana negara atau korporasi yang telah mengurangi emisi gas rumah kaca melebihi batas yang ditetapkan dapat menjual “kredit karbon” kepada pihak lan yang belum memenuhi ambang emisi yang mereka hasilkan. Kredit karbon ini biasanya setara dengan satu ton CO2 yang berhasil dihemat atau diserap.
Perdagangan karbon diatur dalam Pasal 6 Perjanjian Paris, yang membuka ruang bagi kerjasama antar negara melalui sistem global karbon—baik wajib (compliance) maupun sukarela. Namun, dalam penerapannya mekanisme ini masih rentan terhadap kontroversi karena riwayat fraud, transparansi yang lemah, dan praktik kredit tidak jelas selama Clean Development Mechanism (CDM) era Kyoto.
Peran Indonesia dalam komitmen lingkungan di lingkup internasional dapat dilihat melalui partisipasinya dalam berbagai agenda keberlanjutan seperti Sustainable Development Goals (SDGs), aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta konservasi keanekaragaman hayati. Adaptasi terhadap perubahan iklim yang dilakukan oleh Indonesia—salah satunya dengan membangun pasar karbon, dengan asas nilai ekonomi karbon lewat sejumlah regulasi:
Dampak positif yang dihasilkan dalam kegiatan perdagangan karbon mencakup:
Penerapan perdagangan karbon—sebagai iklim baru dalam pasar Indonesia—sampai saat ini masih terus dalam penyempurnaan, sehingga masih terdapat berbagai tantangan serius seperti:
Perdagangan karbon menawarkan peluang ganda—sebagai instrumen mitigasi perubahan iklim sekaligus pendorong ekonomi hijau. Dengan adanya regulasi yang sudah berjalan dan potensi besar dari hutan serta ekosistem karbon biru, Indonesia diharapkan mampu menjadi pelaku utama dalam pasar karbon dunia, asalkan dibarengi dengan tata kelola, transparansi dan integritas lingkungan tetap dijaga.